Pasang Iklan
Pasang Iklan
Home
»
Ulasan
»
Detail Berita


Akar Masalah Rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok di Kawasan Indo-Pasifik

Foto: Latihan perang gabungan Balikatan 2019 antara militer Filipina dan Amerika Serikat. (www.aprnet.org)
Pasang Iklan
Oleh : Joko Yuwono

Semarang, Infomiliter.com -- Rivalitas antara Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Indo-Pasifik telah menandai dinamika baru paling menentukan dalam politik global abad ke-21. Akar-akar ketegangan dapat ditelusuri jauh sebelum perang dagang pecah pada 2018, ketika Amerika mengumumkan tarif impor terhadap baja dan aluminium.

Rivalitas ini sejatinya merupakan akumulasi dari perubahan struktural yang dimulai awal abad ke-21, tepatnya ketika Tiongkok bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 11 Desember 2001. Langkah itu membuka pintu bagi ekspansi manufaktur besar-besaran dari Tiongkok yang secara perlahan menggeser pusat ekonomi dunia dari Atlantik ke Pasifik.

Dalam dua dekade setelahnya, hubungan kedua negara tersebut berkembang dalam dua fase yang kontras. Pada awalnya, ada semacam simbiosis ekonomi, dimana perusahaan-perusahaan raksasa seperti Walmart menggantungkan pasokan barang murah dari pabrik-pabrik di Guangdong, sementara investor Wall Street menikmati keuntungan besar dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang rata-rata mencapai 10 persen per tahun antara 2001 dan 2011. Rantai pasok global menjadi sangat terintegrasi, sehingga gangguan kecil di satu kota industri dapat mengguncang harga barang di belahan dunia yang lain. Dunia tampak seperti satu mesin raksasa yang dihidupkan oleh tenaga kerja murah Tiongkok dan konsumsi masyarakat Amerika.

Namun keseimbangan itu mulai retak ketika Presiden Xi Jinping menyampaikan pidatonya di Forum Ekonomi Dunia di Davos pada Januari 2017 yang menyebut Tiongkok sebagai pembela globalisasi bebas. Dunia menyadari, Beijing tidak lagi sekadar pemain ekonomi, tetapi juga penentu arah sistem global. Tiga hari kemudian, Donald Trump dilantik sebagai Presiden AS dengan slogan “America First”, yang justru mencerminkan semangat kebalikan dari pidato Xi. Dua narasi ini menandai pergeseran besar dari kerja sama mutualisme ekonomi menuju rivalitas strategis.

Puncak ketegangan ekonomi datang pada 2018 ketika Washington memberlakukan tarif 25 persen untuk produk baja dan 10 persen untuk aluminium. Beijing pun segera membalas dengan tarif terhadap impor kedelai dari Amerika, komoditas penting yang menyumbang lebih dari separuh ekspor pertanian AS ke Tiongkok. Dampaknya adalah volume kontainer dari Shanghai ke pelabuhan Los Angeles turun 12 persen hanya dalam satu kuartal, sementara harga kedelai di pasar domestik AS merosot hingga 18 persen, menyebabkan ribuan petani Midwest bangkrut. Dalam waktu singkat, rantai perdagangan global yang telah dibangun selama puluhan tahun telah berubah menjadi medan perang ekonomi antara Amerika Serikat dengan Tiongkok.

Situasi semakin memburuk pada 2019 ketika fase baru perang tarif diberlakukan atas barang-barang senilai 250 miliar dolar. Perdagangan kedua negara turun lebih dari 16 persen, dan perusahaan multinasional seperti Nike berangsur memindahkan sebagian besar produksinya dari Tiongkok ke Vietnam, tempat biaya tenaga kerja lebih murah. Ketika pandemi COVID-19 melanda dunia pada 2020, pukulan terhadap rantai pasok global semakin keras. Lockdown di Shanghai selama 42 hari menghentikan pengiriman komponen elektronik ke berbagai belahan dunia, termasuk pabrik iPhone di AS. Intel memutuskan untuk membatalkan kontrak dengan perusahaan semikonduktor SMIC asal Tiongkok dan mengalihkan investasi ke Arizona. Langkah itu menjadi awal dari fase baru yang dikenal sebagai decoupling, yaitu pemisahan struktural antara ekonomi Amerika Serikat dan Tiongkok.

Meskipun pada awal 2020 kedua negara menandatangani Phase One Agreement yang menjanjikan stabilisasi perdagangan, kesepakatan itu tidak berjalan sesuai harapan. Tiongkok hanya mampu memenuhi sekitar 58 persen dari komitmen pembelian barang-barang Amerika. Di sisi lain, Beijing justru memperkuat arah kebijakan industri dalam negeri melalui Rencana Lima Tahun ke-14 dengan investasi lebih dari 1,4 triliun dolar untuk mempercepat pengembangan teknologi tinggi.



Halaman :

Kata Kunci : Penyebab dan akar masalah rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok di Kawasan Indo-Pasifik

Sorotan


Komponen Penting Dalam Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta

Sishankamrata

Terkuat di Asia Tenggara, Ini Deretan Alutsista Tentara Nasional Indonesia

Nasional

Sejarah Berdirinya Komando Cadangan Srategis Angkatan Darat (Kostrad)

Historia

Dari Jawatan Penerbangan Hingga Lahirnya TNI AU pada 9 April 1946

Historia

Dari Operasi Alpha Hingga Berakhir di Museum Satria Mandala

Historia

Pasang Iklan

Pilihan Redaksi

Kawasan Asia Timur Kian Memanas, Jepang Keluarkan Peringatan Perang

Internasional

Peringatan Perang Dunia II, Volodymyr Zelensky Ingatkan Kejahatan Telah Kembali

Historia

Alasan Amerika Serikat Menyerang Irak pada 2003

Historia

Perang Korea: Penyebab, Jalannya Pertempuran, Penyelesaian, dan Dampak

Historia

BKR Laut, Kisah Garda Bahari di Awal Revolusi Kemerdekaan

Historia

Pasang Iklan

Baca Juga

Menhan Prabowo Bertemu Empat Mata dengan Menhan Australia

Liputan

Spesifikasi dan Asal-usul Nama 2 Kapal Perang yang Diserahkan Prabowo ke TNI AL

Liputan

Alutsista Indonesia Kian Kuat, Usai Menhan Prabowo Borong Jet Prancis

Liputan

Menhan Prabowo Pesan 2 Pesawat Airbus A400M, Ini Sederet Kecanggihannya

Liputan

Latihan Militer Gabungan Indonesia AS, Upaya Menjaga Stabilitas Politik Kawasan

Nasional

Pasang Iklan

Berita Lainnya

Pangkostrad Letjen Maruli Simanjuntak Terima Brevet Astros Kehormatan

Nasional

Sertijab Aslat dan Dansecapaad, Jenderal Dudung Minta Pemimpin Kembangkan Kreativitas

Nasional

Panglima TNI Sebut Indonesia-AS akan Latihan Gabungan Tiga Matra

Nasional

Tinjau Seleksi Komcad Matra Udara, Wakil KSAU Tekankan Kualitas SDM

Sishankamrata

Petinggi Militer AS Soroti Konflik Dunia, Sebut Invasi Rusia Ancam Perdamaian Global

Internasional

Pasang Iklan
Internasional
Lihat Semua
Nasional
Lihat Semua